Jejak Sejarah Kesultanan Buton
Apa dan siapa Kumbewaha
Kumbewaha pada masa lalu adalah sebuah kadie (wilayah otonom) dalam Kesultanan Buton yang tergabung dalam aliansi 72 kadie awal penopang kesultanan melalui jalur (ramba) Kaomu (bangsawan). Wilayah ini kemudian dikenal sebagai pulanga (kepemilikan) dari putra La Buke (Sultan Buton VI) yang di Kumbewaha dikenal sebagai La Murhum atau lebih masyhur dengan sebutan Gogoli Waruruma. Kekuasaannya terbentang dari Kali Tondo hingga Sadupala.
Pada masa kini, secara administratif Kumbewaha merupakan salah satu desa di Kecamatan Siotapina. Dalam tatanan adat, Kadie Kumbewaha sesuai pulanga yang dimilikinya mencakup seluruh wilayah yang berada di Kecamatan Siotapina, sejalan dengan batas awal pembentukan kadie tersebut.
Kajian tentang Kumbewaha berkaitan erat dengan wilayah dan para pelaku sejarah yang membentuk peradabannya. Sejumlah nama penting antara lain La Kabhaura, La Buke, La Arafani, Kasawari, Kenipulu yi Padanga, Gogoli Waruruma, La Polimba, dan La Patta Alam.
Secara geografis, nama Kumbewaha merujuk pada wilayah kekuasaan Lakina Kumbewaha I (Laki Mancuana i Kumbewaha), yakni La Bula, yang pernah menjabat Kenipulu Kesultanan Buton pada masa Sultan Buton IV, La Elangi (Oputa Mobolina Pauna, 1578–1615 M). La Bula adalah putra La Kabhaura (Kapitalao), bin La Maindo (Raja Batauga), bin La Katuturi/La Kasituri, bin Raja Manguntu, bin Bataraguru (Raja Buton III), binti Bulawambona (Raja Buton II), binti Wa Kaa Kaa (Raja Buton I).
Etimologi Kumbewaha
Terdapat beberapa versi asal-usul nama Kumbewaha.
- Versi pertama: dari kata kumbo (mekar/berkembang) dan waha (tahun/waktu), menandai wilayah yang tumbuh seiring perjalanan waktu.
- Versi kedua: dari kata kumba (datang/tiba) dan weha (wilayah agraris yang subur dan hutan yang terpelihara), sesuai memori lokal bahwa Kumbewaha dahulu merupakan kawasan berhutan yang terjaga.
- Versi ketiga: berkaitan dengan kata kombe (makhluk), merujuk pada tradisi berkumpulnya para penghuni wilayah pada waktu tertentu setiap tahun untuk merayakan kedatangan leluhur. Versi ini dihubungkan dengan kisah kedatangan La Kabhaura dan rombongannya sebagai penguasa awal.
Kisah ini berkelindan dengan babad Labolontio tentang para kapita, termasuk La Kabhaura sebagai Kapita Kumbewaha dan Lakilaponto (Murhum).
La Kabhaura (Kapitalao Matanaeyo)
La Kabhaura adalah penguasa awal atas wilayah yang kini menjadi tiga kecamatan: Pasarwajo, Wolowa, dan Siotapina. Pada masa Sultan Buton I hingga Sultan Buton III (La Sangaji/Oputa Makengkuna), ia menjabat sebagai Kapitalao Matanaeyo dengan hak tanah perdikan dari Holimombo dan Tolando (perbatasan Wabula–Pasarwajo) hingga Sadupala (perbatasan Lasalimu Selatan–Siotapina).
Menjelang akhir masa La Bula sebagai Lakina Kumbewaha I, wilayah dibagi kepada putra-putranya: La Buke/Atiagala/Poekij sebagai Lakina Kumbewaha II dan La Arafani/Minarfa/Jogugu/Jipalao sebagai Lakina Holimombo I. Peristiwa ini terjadi sebelum La Arafani menjabat Sapati Yi Baluwu.
Konsolidasi trah dan siyasah Kaomu
Dalam dinamika politik, La Maindo melalui garis cucu-cucunya menarik kembali pusat kekuasaan Buton ke trah lurus Wa Kaa Kaa (Raja Buton I). La Elangi, cucu La Maindo dari pernikahan La Siridatu dan Paramasuni naik menjadi Sultan Buton IV. Dua sepupunya, La Bula dan La Singga (anak La Kabhaura dan Wa Bunganila, juga cucu La Maindo), mendampingi sebagai Kenipulu dan Sapati. Sejak itu, jabatan elite eksekutif kesultanan diemban oleh cucu-cucu La Maindo.
Dalam periode ini disepakati sebuah konsorsium politik yang melegitimasi posisi mereka dan keturunannya di tampuk kekuasaan, dinamai Kamboru-Mboru Talu Palena, sejalan dengan Undang-Undang Martabat Tujuh.
La Bula (Laki Mancuana i Kumbewaha)
La Bula adalah tokoh sentral kronik Kamboru-Mboru Talu Palena. Ia menjabat Lakina Kumbewaha I sebelum kemudian menjadi Kenipulu, sehingga mendapat gelar Laki Mancuana Yi Kumbewaha. Putra-putranya yang terkenal antara lain:
- La Buke/Atiagala/Poekij (Oputa Sangia yi Kumbewaha), Sultan Buton VI bergelar Gafur al-Wadud.
- La Arafani/Minarfa/Jogugu/Jipalao (Sapati yi Baaluwu).
- La Asifadi/Kasafari (Lakina Kaledupa I).
- La Baatini/Mia Dao/Mia Madaki (Bonto Tooge Kahedupa I).
- La Walanda (wafat 1636 dalam konflik dengan Steven Barentzoom dkk.).
Secara hierarkis, La Bula adalah pangkal Kaomu Kumbewaha, muara seluruh trah bangsawan Kumbewaha. Makamnya berada di Benteng Kumbewaha, Desa Sangia Manuru, Kecamatan Siotapina. Ia pula yang mula-mula mendirikan Benteng Kumbewaha.
Kamboru-Mboru Talu Palena dan Siolimbona
Kamboru-Mboru Talu Palena berarti “tiga tiang (pancang)”, tiga kelompok bangsawan Kaomu yang menjadi penopang utama: Tanailandu, Tapi-Tapi, dan Kumbewaha. Undang-Undang Martabat Tujuh menetapkan bahwa calon sultan dan pejabat eksekutif tinggi dipilih dari ketiganya.
- Tanailandu: pusat makam kesultanan; pokoknya La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin).
- Tapi-Tapi: pusat “kesapatian”; pokoknya La Singga (Sapati).
- Kumbewaha: pusat “kekenepuluan”; pokoknya La Bula (Kenipulu).
Hubungan ketiganya dipandang teguh atas sendi adat Binci-Binciki Kuli, rasa perih kemanusiaan yang diwujudkan atas hak persamaan dan diteladankan di atas dasar agama Islam. Secara simbolik, Tanailandu diteladankan sebagai martabat ahdiyah (Laa Ta’ayun), Tapi-Tapi sebagai wahdah (Ta’ayun Awal), dan Kumbewaha sebagai wahdiyah (Ta’ayun Tsani)
Agar tetap tegak, tiap kamboru-mboru disangga tiga Bonto/Menteri Siolimbona:
- Tanailandu: Bontona Peropa, Bontona Gundu-Gundu, Bontona Rakia (diteladankan sebagai martabat Isyki).
- Tapi-Tapi: Bontona Baaluwu, Bontona Barangkatopa, Bontona Wandailolo (diteladankan sebagai martabat Asyik).
- Kumbewaha: Bontona Gama, Bontona Siompu, Bontona Melai (diteladankan sebagai martabat Ma’syuk).
Sultan La Buke (Gafur al-Wadud) dan relasi dengan VOC
La Buke, Sultan Buton ke-6 bergelar Gafur al-Wadud (1632–1654), putra La Bula, mengambil arah politik berbeda dari dua sultan pendahulunya dari trah Tanailandu. Ia terang-terangan melawan Belanda: mengubah sekutu menjadi seteru dan membalikkan kawan menjadi lawan.
Setelah Sultan Dayanu Ikhsanuddin wafat, terjadi ketidakpuasan atas penetapan jabatan sultan, sapati, dan kenipulu. Sultan Abdul Wahab yang diangkat sebagai pengganti digambarkan berkepribadian lemah sehingga diturunkan pada 1619. Sekitar sebelas tahun sesudahnya, jabatan sultan lowong dan roda pemerintahan dijalankan Sapati La Buke. La Buke kemudian naik sebagai sultan bergelar Gafur al-Wadud (1632–1654). Speelman menyebutnya Atiagala/Poekij, Raja Kumbewaha.
Hubungan Buton dan VOC mencapai titik rendah. Beberapa peristiwa yang merugikan VOC antara lain: dukungan sebagian orang Buton pada perlawanan Kakiali di Hitu (1634), penyerangan kapal VOC “Batavia” (1634) saat memasuki pelabuhan Baubau dalam konteks blokade Gowa, perampokan dan pembunuhan awak fluit Velzean di Pulau Wowoni (Januari 1635) yang memicu ekspedisi balasan, serta perompakan dan pembakaran jacht Sasker Douwensen (1636) di pelabuhan Buton.
VOC menuntut ganti rugi. Pada 13 Juni 1637 armada dengan empat kapal besar berlabuh di Buton untuk menekan sultan. Tembakan meriam diarahkan ke pantai, sementara bendera-bendera perang dikibarkan. Pada 21 Januari 1638 armada dari Batavia kembali dengan misi menghukum, tetapi Benteng Buton yang tinggi dan diperkuat membuat taktik pemanjatan tidak disarankan. VOC mengitari tembok dengan barisan, umbul-umbul, dan genderang sebagai intimidasi. Ekspedisi berikutnya dari Ambon untuk menyerang pulau-pulau pala tiba di Buton tetapi tidak berhasil. Hingga akhir pemerintahan La Buke, VOC gagal memaksakan perjanjian baru yang memuaskan.
Warisan monumental masa La Buke adalah Benteng Keraton Wolio, ikon kebanggaan masyarakat Buton yang diakui sebagai benteng terluas di dunia. Bukti kartografis antara lain peta 1621 karya Jan Jansz (menandai “fort”), sketsa benteng 1651 karya Pierre Du Bois (menyebut “Bouton”), dan peta 1660 karya Johannes Vingboons (penyebutan “Bouton”).
Silsilah Lakina Kumbewaha dan dinamika pasca-1702
Secara historis, Kumbewaha dipimpin oleh Lakina dengan urutan:
- La Bula sebagai Lakina Kumbewaha I (1537–1651).
- La Buke sebagai Lakina Kumbewaha II (1619–1689).
- Gogoli Waruruma sebagai Lakina Kumbewaha III (1651–1702).
Setelah wafatnya Lakina Kumbewaha III, yang dikenal melalui peristiwa di Waruruma pada masa Sultan La Umati/La Bele/Sangia I Kopea (1689–1697), tidak diketahui lagi siapa yang menduduki jabatan Lakina. Diduga, ketidaklengkapan sara Kumbewaha akibat berkurangnya penduduk, imbas perang dengan sara Kesultanan Buton pada peristiwa Gogoli Waruruma (1702)—menyebabkan kekosongan tersebut.
Memori kolektif abad ke-19
Memori tentang Kadie Kumbewaha kembali menguat pada masa Bonto La Polimba (sekitar 1822), pada masa Sultan La Deni (Oputa Mosabuna I Baluwu/Oputa Lakina Sorawolio Ana). Diriwayatkan La Polimba (nama asli tidak diketahui) datang dari Wolio untuk mengambil jabatan Bonto ketika Kumbewaha mengalami krisis akibat serangan Tobelo. Banyak korban dari pihak Kumbewaha dimakamkan secara massal di bawah Benteng Kumbewaha sisi barat yang dikenal sebagai Wa Tapi-Tapi. Warga yang tersisa sekitar 40 orang diungsikan La Polimba ke perbukitan terjal sekitar 10 mil di utara Benteng Kumbewaha, di lokasi bernama Wakukulusi.
Pada 1824, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin meminta La Polimba dan warga Kumbewaha yang tersisa untuk kembali ke Baadia, seiring berkembangnya pemukiman Kumbewaha di sana. Ajakan ini ditolak halus oleh La Polimba. Di kemudian hari, putra La Polimba, La Patta Alam/La Beke, teman masa kecil Sultan Muhammad Salihi (Oputa Yi Munara)—menjadi penasihat spiritual Sultan Muhammad Umar (Oputa Yi Bariya, 1885–1904) dalam ketegangan dengan Belanda.
Posisi Kumbewaha hari ini
Kini Kumbewaha adalah desa di Kecamatan Siotapina. Namun dalam lensa adat, pulanga Kadie Kumbewaha merentang selaras dengan cakupan historisnya di Siotapina. Benteng Kumbewaha dan situs-situs terkait menjadi penanda memori kolektif sekaligus sumber legitimasi simbolik bagi identitas Kaomu Kumbewaha mengikat etos Binci-Binciki Kuli, warisan arsitektur pertahanan, serta jejak diplomasi dan perlawanan terhadap hegemoni asing. Rangkaian narasi dari etimologi hingga Kamboru-Mboru Talu Palena, dari La Kabhaura hingga La Bula, dari Waruruma hingga Wakukulusi membentuk kerangka identitas yang terus dihidupkan dalam praktik sosial, ruang geografis, dan ingatan masyarakat hingga kini.
Saat ini Kesultanan Buton dipimpin oleh Paduka Yang Mulia Ir. H. L. M. Sjamsul Qamar, M.T., IPU., Sultan Buton ke-41, yang resmi dilantik melalui prosesi adat Bulilingina Pau di Baubau pada 18 Oktober 2024. Sebagai tokoh akademisi sekaligus Rektor Universitas Dayanu Ikhsanuddin, Sultan Sjamsul Qamar diharapkan mampu menjaga kelangsungan nilai-nilai adat tradisional sembari mendorong inovasi budaya dan kemajuan sosial masyarakat Buton.
Yuk, Kunjungi Benteng Keraton Kesultanan Buton
